Selasa, 22 Mei 2012

Faktor-faktor Apakah Yang Menyebabkan Manusia Tidak Mau Berpikir?



Ada banyak sebab yang menghalangi manusia untuk berpikir. Satu, atau beberapa, atau semua sebab ini dapat mencegah seseorang untuk berpikir dan memahami kebenaran. Oleh karena itu, perlu kiranya setiap orang mencari faktor-faktor yang menyebabkan mereka berada dalam kondisi yang kurang baik tersebut, dan berusaha melepaskan diri darinya. Jika tidak dilakukan, ia tidak akan mampu mengetahui realitas yang sebenarnya dari kehidupan dunia yang pada akhirnya menghantarkannya kepada kerugian besar di akhirat.
Dalam Al-Qur'an Allah memberitakan keadaan orang-orang yang terbiasa berpikir dangkal:


"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya". (QS. Ar-Ruum, 30: 7-8)


1.      Kelumpuhan mental akibat mengikuti kebanyakan orang

Satu sebab yang membuat kebanyakan orang tersesat adalah keyakinannya bahwa apa yang dilakukan "sebagian besar" manusia adalah benar. Manusia biasanya lebih cenderung menerima apa yang diajarkan oleh orang-orang disekitarnya, daripada berpikir untuk mencari sendiri kebenaran dari apa yang diajarkan tersebut. Ia melihat bahwa hal-hal yang pada mulanya kelihatannya janggal seringkali dianggap biasa oleh kebanyakan orang, atau bahkan tidak terlalu dipedulikan. Maka setelah beberapa lama, ia kemudian menjadi terbiasa juga dengan hal-hal tersebut.
Sebagai contoh: sebagian besar dari teman-teman di sekitarnya tidak berpikir bahwa suatu hari mereka akan mati. Mereka bahkan tidak membiarkan satu orang pun berbicara mengenai masalah ini untuk mengingatkan tentang kematian. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang demikian akan berkata,"Karena semua orang seperti itu, maka tidak ada salahnya jika saya berperilaku sama seperti mereka." Lalu orang tersebut menjalani hidupnya tanpa mengingat kematian sama sekali. Sebaliknya, jika orang-orang di sekitarnya bertingkah laku sebagai orang yang takut kepada Allah dan beramal secara sungguh-sungguh untuk hari akhir, sangat mungkin orang ini akan juga berubah sikap.
Sebagai contoh tambahan: ratusan berita tentang bencana alam, ketidakadilan, ketidakjujuran, kedzaliman, bunuh diri, pembunuhan, pencurian, penggelapan uang diberitakan di TV dan majalah-majalah. Ribuan orang yang membutuhkan bantuan disebutkan setiap hari. Tetapi banyak dari mereka yang membaca berita-berita tersebut, membolak-balik halaman surat kabar atau menekan tombol TV dengan tenangnya. Pada umumnya, manusia tidak memikirkan mengapa berita-berita semacam ini demikian banyak; apa yang harus dilakukan dan persiapan-persiapan apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sedemikian mengenaskan; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Kebanyakan manusia menuding orang atau pihak lain bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tersebut. Dengan seenaknya mereka melontarkan kata-kata seperti "Apakah menjadi tanggung jawab saya untuk menyelamatkan dunia ini?"


2.      Kemalasan mental

Kemalasan adalah sebuah faktor yang menghalangi kebanyakan manusia dari berpikir.
Akibat kemalasan mental, manusia melakukan segala sesuatu sebagaimana yang pernah mereka saksikan dan terbiasa mereka lakukan. Untuk memberikan sebuah contoh dari kehidupan sehari-hari: cara yang digunakan para ibu rumah tangga dalam membersihkan rumah adalah sebagaimana yang telah mereka lihat dari ibu-ibu mereka dahulu. Pada umumnya tidak ada yang berpikir, "Bagaimana membersihkan rumah dengan cara yang lebih praktis dan hasil yang lebih bersih" dengan kata lain, berusaha menemukan cara baru. Demikian juga, ketika ada yang perlu diperbaiki, manusia biasanya menggunakan cara yang telah diajarkan ketika mereka masih kanak-kanak. Umumnya mereka enggan berusaha menemukan cara baru yang mungkin lebih praktis dan berdaya guna. Cara berbicara orang-orang ini juga sama. Cara bagaimana seorang akuntan berbicara, misalnya, sama seperti akuntan-akuntan yang lain yang pernah ia lihat selama hidupnya. Para dokter, banker, penjual…..dan orang-orang dari latar belakang apapun mempunyai cara bicara yang khas. Mereka tidak berusaha mencari yang paling tepat, paling baik dan paling menguntungkan dengan berpikir. Mereka sekedar meniru dari apa yang telah mereka lihat.
Cara pemecahan masalah yang dipakai juga menunjukkan kemalasan dalam berpikir. Sebagai contoh: dalam menangani masalah sampah, seorang manajer sebuah gedung menerapkan metode yang sama sebagaimana yang telah dipakai oleh manajer sebelumnya. Atau seorang walikota berusaha mencari jalan keluar tentang masalah jalan raya dengan meniru cara yang digunakan oleh walikota-walikota sebelumnya. Dalam banyak hal, ia tidak dapat mencari pemecahan yang baru dikarenakan tidak mau berpikir.
Sudah pasti, contoh-contoh di atas dapat berakibat fatal bagi kehidupan manusia jika tidak ditangani secara benar. Padahal masih banyak masalah yang lebih penting dari itu semua. Bahkan jika tidak dipikirkan, akan mendatangkan kerugian yang besar dan kekal bagi manusia. Penyebab kerugian tersebut adalah kegagalan seseorang dalam berpikir tentang tujuan keberadaannya di dunia; ketidakpedulian akan kematian sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari; dan kepastian akan hari penghisaban setelah mati. Dalam Al-Qur'an, Allah mengajak manusia untuk merenungkan fakta yang sangat penting ini:

"Mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?" (QS. Huud, 11: 21-24)

"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa-apa) ? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 17)


3.      Anggapan bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik

Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan satu sama lain dengan mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda akan kehilangan akal". Sungguh ini tidak lain hanyalah omong kosong yang didengung-dengungkan oleh mereka yang jauh dari agama. Yang seharusnya dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi memikirkan keburukan; atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan atau angan-angan kosong.
Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan bermanfaat, akan tetapi hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak bermanfaatlah yang pada akhirnya muncul dari perenungan mereka. Mereka berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia adalah sementara, dan bahwa mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini menjadikan mereka putus harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani kehidupan tanpa mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di akhirat. Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa mereka akan lenyap sama sekali setelah mati.
Orang yang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memiliki pola pikir yang sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras yang sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat sangat tenang. Tak satupun peristiwa yang menimpanya dalam kehidupan yang sementara ini membuatnya marah. Dengan ceria ia selalu berpikir tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan dunia. Allah telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam kehidupan di dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian banyak kenikmatan untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat tak terbayangkan lagi keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat keindahan yang hakiki di akhirat. Dan ia memahami semua hal tersebut setelah berpikir secara mendalam.


4.      Berlepas Diri Dari Tanggung Jawab Melaksanakan Apa Yang Diperoleh Dari Berpikir

Kebanyakan manusia beranggapan bahwa mereka dapat mengelak dari berbagai macam tanggung jawab dengan menghindarkan diri dari berpikir, dan mengalihkan akalnya untuk memikirkan hal-hal yang lain. Dengan melakukan yang demikian di dunia, mereka berhasil melepaskan diri mereka sendiri dari beragam masalah. Satu diantara banyak hal yang sangat menipu manusia adalah anggapan bahwa mereka akan dapat membebaskan diri dari kewajiban mereka kepada Allah dengan cara tidak berpikir. Inilah sebab utama yang membuat mereka tidak berpikir tentang kematian dan kehidupan setelahnya. Jika seseorang berpikir bahwa ia suatu hari akan mati dan selalu ingat bahwa ada kehidupan abadi setelah mati, maka ia wajib bekerja keras untuk kehidupannya setelah mati. Tetapi ia telah menipu dirinya sendiri ketika berkeyakinan bahwa kewajiban tersebut akan lepas dengan sendirinya ketika ia tidak berpikir tentang keberadaan akhirat. Ini adalah kekeliruan yang sangat besar, dan jika seseorang tidak mendapatkan kebenaran di dunia dengan berpikir, maka setelah kematiannya ia baru akan menyadari bahwa tidak ada jalan keluar baginya untuk meloloskan diri.

"Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. Dan ditiuplah sangkakala. Itulah hari terlaksananya ancaman." (QS. Qaaf, 50: 19-20)


5.      Tidak Berpikir Akibat Terlenakan Oleh Kehidupan Sehari-Hari

Kebanyakan manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam "ketergesa-gesaan". Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan menanggung hidup diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini sebagai sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi untuk hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa larut oleh arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka. Dengan demikian, mereka menjadi tidak peka lagi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar.
Namun, tidak sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar menghabiskan waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya. Tidak ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang, bekerja, belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu manusia perlu melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti senantiasa ada dalam benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu kesadaran akan keberadaan manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk bekerja demi mencari ridha, kasih sayang dan surga Allah. Segala perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan tersebut hanyalah berfungsi sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih tujuan yang sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada manusia.
Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali menjadikan sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan contoh-contoh lain yang serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: tidak dapat diragukan bahwa bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang bermanfaat untuk masyarakat adalah perbuatan baik. Seseorang yang beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan tersebut dengan bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi agar dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia telah melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya, yakni mencari ridha Allah. Ketika menemukan realitas yang sebenarnya di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena telah melakukan hal yang demikian. Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia sebagaimana berikut:

"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. At-Taubah, 9: 69).


6.      Melihat segala sesuatu dengan "penglihatan yang biasa", sekedar melihat tanpa perenungan

Ketika melihat beberapa hal yang baru untuk pertama kalinya, manusia mungkin menemukan berbagai hal yang luar biasa yang mendorong mereka berkeinginan untuk mengetahui lebih jauh apa yang sedang mereka lihat tersebut. Namun setelah sekian lama, mereka mulai terbiasa dengan hal-hal ini dan tidak lagi merasa takjub. Terutama sebuah benda ataupun kejadian yang mereka temui setiap hari sudah menjadi sesuatu yang "biasa" saja bagi mereka.
Sebagai contoh, beberapa orang calon dokter merasakan adanya pengaruh terhadap dirinya ketika pertama kali melihat jenazah. Saat pertama kali satu di antara para pasien mereka meninggal dapat membuat mereka termenung lama. Padahal beberapa menit yang lalu jasad tak bernyawa ini masih hidup, tertawa, memikirkan rencana-rencana, berbicara, menikmati hidup dengan wajah yang ceria. Orang yang tadinya hidup serta melihat dengan mata yang ceria, berbicara tentang rencana masa depan, menikmati sarapan di pagi hari mendadak terbaring tanpa ruh. Ketika pertama kali mayat tersebut diletakkan di depan para dokter tersebut untuk diautopsi, mereka berpikir segala hal yang mereka lihat padanya. Tubuhnya membusuk demikian cepat, bau yang menusuk hidung pun tercium, rambut yang tadinya terlihat indah menjadi demikian kusut hingga tak seorang pun sudi menyentuhnya. Kesemua ini termasuk apa yang ada di benak mereka. Lalu mereka pun berpikir: bahan pembentuk semua manusia adalah sama dan jasad mereka akan mengalami akhir yang serupa, yakni mereka pun akan menjadi seperti mayat yang mereka saksikan.
Namun, setelah berulang-ulang melihat beberapa mayat dan mendapati beberapa pasiennya meninggal dunia, orang-orang ini pada akhirnya menjadi terbiasa. Mereka lalu memperlakukan mayat-mayat, atau bahkan para pasien mereka sebagaimana barang atau benda.
Sungguh, ini tidak berlaku terhadap dokter saja. Terhadap kebanyakan manusia, hal yang sama dapat terjadi dalam kehidupan mereka. Sebagai contoh, ketika seseorang yang biasa hidup dalam kesusahan dikaruniai kehidupan yang serba berkecukupan, ia akan sadar bahwa semua yang ia miliki adalah sebuah kenikmatan untuknya. Tempat tidurnya menjadi lebih nyaman, tempat tinggalnya menghadap ke arah pemandangan yang indah, ia dapat membeli apapun yang diinginkannya, menghangatkan rumahnya di musim dingin sekehendaknya, dengan mudahnya pergi dari satu tempat ke tempat yang lain dengan kendaraan, dan banyak hal lain yang kesemuanya adalah kenikmatan baginya. Ketika membandingkan dengan keadaan yang sebelumnya, ia akan merasa bersyukur dan bahagia. Akan tetapi, bagi orang yang telah memiliki kesemua ini sejak lahir mungkin tak pernah terlalu memikirkan tentang nilai dari semua kenikmatan tersebut. Jadi, penilaian terhadap segala kenikmatan ini tidak mungkin dilakukannya tanpa ia mau berpikir secara mendalam.
Lain halnya bagi seseorang yang mau merenung, tidaklah menjadi persoalan apakah ia mendapatkan segala kenikmatan tersebut sejak lahir atau di kemudian hari. Sebab ia tidak pernah melihat apa yang dimilikinya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ia paham bahwa segala yang ia punyai adalah ciptaan Allah. Sekehendak-Nya, Allah berkuasa mengambil semua kenikmatan yang ada darinya. Sebagai contoh, orang-orang mukmin ketika menaiki hewan tunggangan, yakni kendaraan, mereka akan berdoa:

"Supaya kamu duduk di atas punggungnya kemudian kamu ingat nikmat Tuhanmu apabila kamu telah duduk di atasnya; dan supaya kamu mengatakan:"Maha Suci Tuhan yang telah menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami." (QS. Az-Zukhruf, 43: 13-14)

Di ayat lain, dikisahkan bahwa ketika orang-orang yang beriman memasuki kebun-kebun atau taman-taman mereka, mereka mengingat Allah seraya berkata, "Atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah" (QS. Al-Kahfi, 18: 39). Ini adalah sebuah isyarat bahwa setiap saat ketika memasuki taman-taman mereka, muncul dalam benak mereka: Allah lah yang menciptakan dan memelihara taman ini. Sebaliknya, seseorang yang tidak berpikir mungkin takjub ketika pertama kali melihat sebuah taman yang indah, tetapi kemudian taman tersebut menjadi sebuah tempat yang biasa-biasa saja baginya. Kekagumannya atas keindahan tersebut telah sirna. Sebagian orang sama sekali tidak menyadari nikmat tersebut dikarenakan tidak berpikir. Mereka menganggap segala kenikmatan yang ada sebagai hal yang "biasa" atau "lumrah" dan sebagai "sesuatu yang memang seharusnya sudah demikian". Inilah yang menjadikan mereka tidak dapat merasakan kenikmatan dari keindahan taman tersebut.


Ikhtisar ini diambil dari e-book Harun Yahya, dalam bukunya “Bagaimana seorang muslim berfikir”

Rabu, 02 Mei 2012

Hardiknas



Baru nyadar eh, sekarang tu 2 Mei, Hari Pendidikan Nasional, aktifitas mengajar jadi libur, coz all teacher semuanya ikut upacara bendera.
Ketika ingat Hardiknas, jadi teringat kisah perjuangan Ki Hajar Dewantara, Sang Bapak Pendidikan Nasional, dengan semboyan yang masih teringat, semenjak SD, “Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karso, tut wuri handayani, yang artinya di depan memberi tauladan, di tengah memberi bimbingan, dan dibelakang memberi dorongan”.
Hm, tapi kayanya yang paling hafal, poin ke-3, soalnya menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional kita.
Meski baru inget, hari sekarang hari Pendidikan Nasional, nggak ada salahnya kita ingat2 kembali materi pelajaran waktu SMP/SMA. (Masih pada inget?.....)
Ki Hajar Dewantara, nama aslinya Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, dilahirkan di Yogyakarta, tepatnya tanggal 2 Mei tahun 1889, adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, Kolumnis, Politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi  Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Pendiri Perguruan Taman Siswa juga, yang merupakan lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Soewardi, memulai pendidikannya di ELS  yang merupakan Sekolah Dasar Eropa/ Belanda. Ia sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar. Pada masanya ia tegolong penulis handal.
Ada sebuah tulisan beliau yang bertujuan untuk mengkritik perayaan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Perancis pada bulan November 1913 dan dirayakan di tanah jajahan Indonesia denga menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut. Judul tulisannya adalah Als Ik Eens Nederlands (Seandainya Aku Seorang Belanda), petikan tulisannya sebagai berikut :
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya.

Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! "Kalau aku seorang Belanda" Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".

Akibatnya, beliau dibuang tanpa protes pengadilan ke Pulau Bangka oleh Gubernur Jenderal Idenburg, Namun atas tulisan Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang membelanya, hukuman tersebut berganti menjadi dibuang ke negeri Belanda. Dan setelah kembali ke tanah air, beliau mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Taman Siswa Nasional) pada tanggal 3 Juli 1992.
Dari sinilah lahir konsep pendidikan nasional. Dan atas jasa-jasanya ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno pada tanggal 28 November 1959, tanggal kelahiran beliau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Lalu, terkait dengan Hari Pendidikan Nasional, bagaimanakah kondisi pendidikan kita saat ini?
Ada 3 poin yang menjadi kajian:
1.      Generasi Penerus Bangsa
Dalam hal pendidikan, ini menjadi faktor yang paling dominan. Karena, benih-benih yang lahir di tanah air tercinta kita inilah merupakan calon-calon penerus yang akan menggenggam nasib bangsa. Akankah ke masa depan yang positif, atau justru ke arah yang negatif. Itu semua tergantung kepada mereka.

Nha, sekarang kita coba untuk introspeksi diri, apa yang sudah kita lalukan untuk bangsa ini. Lalu apa yang juga terjadi pada bangsa ini? Mengapa kita cenderung menjadi manusia yang konsumtif dalam kehidupan, mengapa kita tidak bisa seperti negara-negara maju seperti Jepang yang bertindak produktif. Sebagai contoh konkretnya, misalkan begini, anak sekolah dasar di Indonesia atau SD di ajari untuk menggunakan barang-barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbeda dengan anak sekolah dasar di negara Jepang, dengan usia yang relatif muda, meraka sudah diajari merakit alat-alat atau barang elektronik seperti HP, game, dll. Berbanding terbalik bukan, dengan keadaan di negara kita ini. Apakah karena kita belum bisa di setarakan dengan negara-negara maju seperti Jepang? Negara maju, sedangkan kita adalah negara berkembang yang masih membutuhkan proses. Jelas hal itu bukan alasan yang tepat untuk kita tidak bisa berdiri sama tinggi, duduk  sama  rendah dengan mereka. Justru perbedaan tersebut seharusnya mampu memberi  energi besar kepada kita untuk membuktikan bahwa kita mampu bersaing dengan mereka.

Mayoritas generasi Indonesia memilki kebiasaan malas yang lama-lama menjadi karakter buruk. Malas memainkan otak untuk bersaing, malas berusaha menyesuaikan perkembangan zaman. Cenderung primitif, tidak thau dan memang tidak ingin tahu tentang perkembangan di era globalisasi. Yang dipikirkan hanya bagaimana cara memperkaya diri. Kalau itu memang yang telah terjadi, ya jelaslah pendidikan Indonesia dikategorikan sebagai negara yang pendidikannya rendah. Jika  kondisi seperti itu tidak diperbaiki, dan bangsa ini tidak segera melakukan revitalisasi pembangunan sektor pendidikan, republik yang sedang murung dan bersedih hati ini akan menghadapi risiko dan bencana kenamusiaan yang dahsyat, berupa tersungkurnya sebagian besar rakyat yang pernah dikandung dan dilahirkan ibu pertiwi ini ke dalam lembah keterbelakangan budaya, peradaban, teknologi, dan seni. Sebagian kecil dari bahaya dan risiko itu telah di ungkapkan oleh Sheridan (1999:39) dalam Suyanto, Dinamika pendidikan Nasional.

2.      Tenaga pengajar sebagai pembimbing di dunia kependidikan. Banyaknya guru atau dosen yang belum memenuhi persyaratan penentuan aspek input dan proses pendidikan.
1.      Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%).
2.      Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%).
3.      Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kuakifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%).
4.      Guru sekolah Menengah sebanyak 377.673 , yang sudah meiliki kewenangan mengajar sesuai dengan dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang(63,02%).
5.      Dosen perguruan tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.87 orang (48,46%).
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”
Lagi-lagi faktor yang  tak kalah penting adalah tersedianya fasilitas-fasilitas yang sangat mempengarui tinggi rendah, maju mundurnya suatu pendidikan. Berikut ini adalah data ruang kelas yang tidak layak pakai untuk proses belajar.
1.    Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.3999 (82,67%).
2.    Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440. (42,12%)
3.    Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya baik hanya 154.283 (82,29%)
4.    Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya baik berjumlah 115.749 (93,07%)
sumber: Prof. Suyanto, Ph.D “Dinamika Pendidikan nasional”

Begitulah kondisi yang telah menimpa negara tercinta kita ini. Selain kondisi sekolah yang demikian, fasilitas pendukung lain sepertinya juga jauh dari yang diharapkan. Seharusnya fasilitas pendidikan bisa digunakan sebagai jembatan untuk memajukan pendidikan Indonesia. Karena dengan begitu siswa atau pelajar pun tidak akan tertinggal oleh perkembangan pendidikan di dunia. Meskipun hal itu belum bisa diterapkan di Indonesia setidaknya standarkan semua lembaga pendidikan di Indonesia, karena di sanalah tempatnya para generasi penerus bangsa mencari ilmu atau pendidikan.

3.      pemerintah merupakan pendukung yang sangat penting bagi pendidikan di Indonesia. Tapi, kenyataannya di indonesia sektor pendidikan tidak menjadi prioritas dan unggulan bagi kebijakan nasional dalam meningkatkan SDM. Untuk menghindari risiko tersebut, pemerintah seharusnya menjadikan pembangunan sektor pendidikan sebagai ujung tombak bagi proses kebangkitan kembali bangsa ini. UNESCO (1998:22) yakin bahwa pendidikan memiliki peran yang unik untuk memberantas kemiskinan.
Sekarang, kita telah memiliki pandangan bukan bagaimana kita harus membawa nasib bangsa kita ini dalam derasnya arus globalisasi.
Semoga tulisan ini memberikan bisa manfaat bagi generasi penerus bangsa, para pembimbing, dan tindakan pemerintah untuk memperbaiki pendidikan indonesia.
Karena, kalau bukan kita yang memperbaiki nasib bangsa, siapa lagi?
Majulah terus pendidikan Indonesia!!! Bukan tak mungkin oarng-orang besar seperti Albert Einstein dan para ilmuan besar lainnya yang mampu mengubah kehidupan bangsanya lahir dari tanah air tercinta kita yaitu INDONESIA.





            

Selasa, 01 Mei 2012

Dunia ke 2



Melihat mereka yang telah merasakan pengalaman di luar sana, pahit manisnya kehidupan, adalah sebuah tantangan yang harus dihadapi. Ketika ku memandang diri ini, pertanyaan ini selalu hadir dalam benakku, “Kapan giliranku?”

Ya, aku dengan segala keterbatasanku harus mempersiapkan diri dari sekarang, bukannya tidak mungkin ku juga bisa sukses di luar sana.

Teringat pengalaman santri Gontor, meski dengan keterpaksaan untuk memasukinya, tapi ada hikmah dibalik itu semua. Banyak hal yang tidak didapatnya selain di Gontor, hal yang mampu mengubah hidupnya hingga sekarang ini. Mengejar dunia, mewujudkan awan benua yang ia bangun dari impian Shohibul Menara. Bahkan ia mampu lebih dari mereka yang belum pernah mencicipi bagaimana rasanya kehidupan di pondok.

Perjuangan Imam Asy Syafi’i yang suka mengembara, terutama untuk mencari ilmu pengetahuan Beliau pernah berkata dalam sebuah syairnya :
 ما في المقام لذي عقل وذي أدب # من راحة فدع الأوطان واغترب
Adalah tidak enak bagi orang cerdik-pandai untuk tinggal tetap di suatu tempat, Oleh karena itu tinggalkanlah tanah air dan mengembaralah!
 سافر تجد عوضا عمن تفارقه # وانصب فإن لذيذ العيش في النصب
 Musafirlah! Engkau akan mendapat sahabat-sahabat pengganti sahabat-sahabat yang ditinggalkan. Bekerja keraslah! Karena kelezatan hidup adalah dalam bekerja keras.
 اني رأيت وقوف الماء يفسده # ان سال طاب وان لم يجر لم يطب
Saya (Imam Syafi’i) berpendapat bahwa air kalau tetap di suatu tempat, ia akan busuk. Kalau ia mengalir barulah ia bersih, dan kalau tidak mengalir akan menjadi kotor
 الأسد لو لا فراق الغاب ما افترست # والسهم لو لا فراق القوس لم يصب
Singa kalau tidak keluar dari sarangnya, ia tak akan dapat makan. Anak panah kalau tidak meluncur dari busurnya, ia tak akan mengena
والشمس لو وقفت في الفلك دائمة # لملها الناس من عجم ومن عرب
 Matahari pun kalau tetap niscaya seluruh manusia akan marah padanya
 والتبر كالترب ملقي في أماكنه # والعود في أرضه نوع من الحطب
Tibir (bahan baku emas) adalah saperti tanah saja ketika ia masih tergeletak di tempatnya.
 فإن تغرب هذا عزا مطلبه # وإن تغرب ذالك عز كالذهب
Kalau yang ini (kayu rimba) keluar dari rimba, sukar sekali mendapatkannya, dan itu (tabir) kalau keluar dari tempat sudah berharga seperti emas


Demikian Imam Syafi’i yang mengajurkan kepada pengikutnya supaya menyukai pengembaraan terutama untuk mencari ilmu pengetahuan. Sama dengan cerita di atas, terkadang ku juga ingin bisa seperti mereka, mencicipi pahit manisnya perjuangan dalam mewujudkan apa yang menjadi impianku selama ini. Selama masa-masa di pondok ini, ku harus mempersiapkan diri dari sekarang, mudah-mudahan kan ada jalan/ perantara tuk sampai kepadanya.


Berbekal dari sedikit ilmu, semoga ku bisa. 

من جد وجد

Rabu, 25 Januari 2012

Andai Rupiah Bisa Berkomentar


Uang?
Mungkin bagi mereka yang punya iman kuat, gak mungkin sampai terpedaya olehnya.
Tapi kebanyakan kita saksikan, ketika uang sudah bicara.....
(Ada yang pernah denger gimana obrolannya, he) mungkin kalau diterjemahkan, "Siapa sih yang gak mau sama gue?"
Yang alim bisa dibuatnya dzalim, yang jujur bisa dibuatnya pandai berbohong, yang lemah bisa dibuatnya kuat, demi sebuah nama yang bernama "uang".
Itulah kalau uang sudah dijadikan Tuhan.
Kita lihat, sebegitu gampangnya mereka (pejabat) menyebutkan nominal uang,sebentar2 Miliar,
sebentar-ben Miliar...
"20 Miliar buat Ruang Banggar DPR, Toiler 2 Miliar, ... (masih banyak kok yang lainnya, yang nilainya sampai bermiliar2)"
Angka 1 M, bagi mereka mungkin dianggap kecil, tapi liat rakyat Indonesia yang miskin,
tidur beratapkan langit, tanpa bangunan/rumah,bahkan kolong jembatan, pekuburan, bantaran rel kereta api, dll menjadi tempat yang dibuat "nyaman", asalkan bisa tidur nyenyak;
Banyak sekolah-sekolah yang banyak membutuhkan dana untuk renovasi.
Masih ingat, kisah pahlawan SD yang bergelantungan di bekas jembatan yang rubuh, demi berangkat ke sekolah?
Karna lambannya pemerintah, untuk merehab,entah apalah alasannya....mereka bergelantungan menyusuri tali, demi berangkat ke sekolah, padahal membahayakan nyawa mereka.
Berbeda dengan para pejabat kita, hidup dengan fasilitas serba ada, tidak seperti mereka.
Mereka jarang memikirkan nasib saudara-saudara kita yang miskin, lebih mementingkan Toilet, renovasi Ruang Banggar, termasuk ngebuat gedung baru (kira2 berapa "T" yah) ...daripada buat rehab, ngebangun jembatan dll,
Jika foto Bung Karno dan Bung Hatta yang ada pada Rupiah seratus ribuan bisa berkomentar,kayanya mereka tidak sampai berani melihat kondisi Indonesia yang telah diproklamirkannya, sampai menutup mukanya dengan kedua tangannya..